Senin, 18 November 2013

GREENERS UNYU VS THE COMBRO

Oleh : Joana M. Zettira DC

            Sampah dimana mana. Bau tak sedap
merajalela. Es di kutub mencair. Panas tak terelakkan. Akhir dunia, ya akhir
dunia.
            Arggh! Aku terkesiap bangun dari
tidurku. Mataku melotot, hampir copot. Huft! Just dream. Aku mengelus dada
sembari mengatur nafasku yang tak teratur. Ugh, benar benar mengerikan mimpi
tadi. Tidak, tidak boleh, jangan sampai itu terjadi. 
            “Fat, aku berangkat yaa!” teriakku
dari pintu luar. Fat? Who is fat? Fat adalah ayahku. Aku lebih senang
memanggilnya dengan panggilan “Fat” daripada “Father” atau apapun. Lebih akrab,
begitu alasanku. Dia seorang dosen tata lingkungan sekaligus pecinta
lingkungan. Fat tak banyak bicara, tapi Fat selalu melakukan hal hal luar biasa
diluar nalarku. No Action Talk Only, sifat yang dibenci Fat, itu yang kutahu.
Sejak aku masih berkepang dua, Fat telah mengajariku everything about
environment. Aku paham betul semua mengenai lingkungan dan kelangsungannya. Aku
selalu menjadi pendaftar pertama tiap kali ada kegiatan pecinta lingkungan. Ya,
berkat Fat.
            “Selanjutnya, sambutan sekaligus
visi misi dari ketua OSIS baru. Kepada Vina Fridiana, dipersilakan.” Nafasku
tak beraturan. Nervous. Tatapan mata mereka membuat sekujur tubuhku merinding.
Ah tidak tidak, aku tidak boleh gugup. Aku menarik nafas panjang. “Come on
Vina!”
            “Bumi semakin panas akibat pemanasan
global. Berdasarkan kondisi tersebut, kini tengah digalakkan program sekolah
berbasis Adiwiyata. Saya ingin, kita semua, seluruh warga sekolah, ikut aktif
dalam program ini. Kita akan menerapkan 5R, Reuse, Reduce, Recycle, Replace,
dan Replant. Langkah awal, kita bisa memungut dan membuang sampah yang
berserakan di lingkungan sekolah kita di tempat sampah. Selain itu, perlu
diadakan pemisahan tempat sampah organik dan anorganik.” Aku nerocos tanpa
ragu. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan ini. Pidatoku sebagai ketua OSIS baru kuakhiri dengan kata “Lets
Be The Greeners!”. Aku benar benar bersemangkat dengan misiku ini. Meskipun,
ekspresi yang kutangkap dari peserta upacara kurang meyakinkan. 
            “Vin, congrats ye! Lu jadi ketua
OSIS baru sekolah kite.” Seseorang menepukku dari belakang. Aku terperanjat
kaget. “Ririn! Nyebelin banget sih, untung aku nggak jantungan.” Aku mengelus
dadaku. “Ngemeng ngemeng lu tadi ngomong apa sih pas pidato? Ayekagak ngarti.” Logat Betawi Ririn mulai
keluar. Oh, bahkan temanku sendiripun tak paham sama ucapanku, bagaimana mereka
semua? Aku melenguh putus asa.  Oh
Tuhan... 
            “Jadi,
gini Rin, kita bikin sekolah kita jadi green. Bersih, indah, hijau, dan nggak
menyumbang polusi pemicu Global Warming. Nggak susah kok. Hmm, itu tuh, parfum
spray kamu ganti pake parfum roll aja. Parfum spray mengandung CFC, dan itu
bener bener dangerous! Berdampak efek rumah kaca Rin!” aku menunjuk parfum
spray yang ada di tangannya. Ririn hanya manggut manggut. “Buat next step,
gimana kalo kita bikin genk peduli lingkungan? Ambisiku untuk menyelamatkan
lingkungan tak dapat kubendung lagi. “Ide bagus! Vin, menurut aye, gimana kalo
name genknye GREENERS UNYU?” Mata Ririn berbinar binar. Gila dia! Aku tak habis
pikir bagaimana reaksi seisi sekolah mendengar nama itu? Freak, alay,
berlebihan! Oh aku mulai pusing. Tapi, ya sudahlah, tak apa, yang terpenting
program ini berjalan.
            Hari
pertama, Greeners Unyu, aku dan Ririn beraksi. Dengan sepatu boot, lengkap
dengan masker dan sarung tangan. So cool. Seluruh sudut sekolah kuperiksa. Aku dan Ririn memungutisampah yang berserakan, dan
memasukkan kembali pada tempatnya. Sangat melelahkan. Beruntungnya, aksi kami
ini menarik simpati warga sekolah untuk bergabung dalam Greeners Unyu. Yuhu!
Aku semakin optimis.
            Hari
kedua. Greeners Unyu jadi pembicaraan hangat di kalangan siswa. Ahay, jumlah
anggota kami sudah mencakup seisi sekolah. Kecuali… tiga orang itu! Mataku
menatap tajam mereka dari kejauhan. Yang kumaksud dengan “itu” adalah Arga,
Bimo, dan Kevin. Troublemaker kelas wahid di sekolah ini. Kerjaan mereka hanya
membuat onar, merusak lingkungan, dan alhasil, mereka sering bolak balik ruang
BK. Mendengar ruang “lubang harimau” itu saja sudah ngeri, apalagi berada
disana. Sangat mengerikan. Kabar yang kudengar, mereka bertiga bikin sebuah
genk. Dan kudengar juga,  genk yang
mereka namai “The Combro” itu berambisi untuk menggeser posisi Greeners Unyu.
The Combro? Oh, tak adakah nama yang lebih freak dari itu? Combro. Jajanan
pasar dengan bahan dasar singkong. Perutku menahan tawa mendengar nama genk
yang makin famous itu. Menggelikan.
            “Wait
wait, ada leadernya Greeners Unyu nih. Genk gaje dengan nama freak dan program
yang nggak penting. Menyelamatkan lingkungan? Wakaka itu sih tugasnya
Departemen Lingkungan Hidup, bukan bocah ingusan kaya loe!” tawa The Combro mencibirku.
Saat itu, di tanganku ada setumpuk sampak organikyang akan kubuat kompos.“Sial, kenapa aku harus berpapasan
sama mereka sih?” Aku melenguh kesal. “The Combro yang manja, egois, dan rese,
kalian nggak intropeksi diri ya? Kalian sering mengeluh uuh panas uuh panas,
tapi nggak sadar kalau sebenarnya kalian sendiri yang memicunya. Dasar NATO!”
aku menjulurkan lidahku, dan buru buru pergi. Dasar NATO! 
            “Rin,
masa Greeners Unyu yang bertujuan mulia dikatain freak sama The Combro?!
Pokoknya itu pelecehan. Aku nggak terima” amarahku meledak. “Hih, apaan sih lu,
ame genk gitu aje pake esmosi esmosian. Udah tau mereka rese.” Ririn
menasehatiku. Benar juga ya, masa aku harus care sama omongan The Combro?
Idiyuh, sama aja aku nothing dong. Okelah, who cares about The Combro!
            “Anak
anak, untuk mensukseskan program yang telah dirancang Vina mengenai sekolah
adiwiyata, bapak ingin membentuk kalian menjadi beberapa teamwork. Setiap
teamwork mempunyai tugas yang berbeda.” Pak Dono mengumumkan lewat pengeras suara
yang segera terdengar ke seluruh penjuru kelas. Wow! Ini akan menyenangkan.
Namun, itu semua berubah jadi suram ketika, “Vina, Arga, Kevin, kalian satu
teamwork!” Rasanya jantungku hampir copot. Oh tidak, ini akan jadi pengalaman
tersuram sepanjang hidupku. “Kalian bertugas di misi Recycle” Pak Dono
menambahkan. Omegat! Aku buru buru protes. Tapi, Pak Dono hanya tersenyum, ah
menyebalkan.
            “Pagi
semua” Arga menyapa aku dan Kevin yang lebih dulu sampai di sekolah. “Kamu
terlambat!” aku menjulurkan lidahku. “Dasar nggak disiplin.” Aku mengomel, tapi
kurasa ia tak peduli. Sebagai anggota teamwork, kami harus bahu membahu menyelesaikan team. Harus
professional. Perseteruan Greeners Unyu dan The Combro sejenak kami redam. Misi
team kami adalah Recycle, mendaur ulang. Dan… sasaran kami adalah, sampah
anorganik!
            “Menjijikan,
jauhkan sampah sampah itu dariku!” Arga menunjuk nunjuk sampah yang kubawa
dengan tatapan jijik. Dasar manja! Arga hanya duduk dengan ponsel di
genggamannya sementara aku sibuk bergelut dengan sampah plastik. “Ehem!” aku pura pura batuk. “Arga,
kamu yang bagian nyuci gih sama Kevin!” setumpuk sampah plastikkuserahkan padanya. Dia mengangguk,
masih dengan tatapan jijik. Setelah plastik plastik itu dicuci, waktunya untuk
memadu padankan warna. Bisa dibilang, aku pandai dalam hal ini. Menurutku.
            Tiktiktik...
Yah hujan datang tiba tiba. Padahal, proses terakhir yang harus dilakukan untuk
membuat tas plastik ini adalah menjahit. Mungkin kalian berpikir, apa
hubungannya “njahit” dan hujan? Hubungannya, ruang menjahit berada di ujung
sekolah. Artinya, untuk menuju kesana kami harus menembus hujan. Ugh, padahal
hujan turun sangat lebat. Karena takada payung, aku terpaksa memotong selembar
daun pisang di dekat ruang keterampilan. Satu daun untuk berdua, aku dan Arga.
Ini juga terpaksa, kalau bukan karena tugas teamwork nggak mau deh aku nglakuin
ini. “Siap! Satu, dua, tiga, lariiiii!” aku memberi aba aba Arga untuk berlari.
Ah, memalukan harus berhujan hujan ria dengannya.
            Sampai
di ruang menjahit, aku buru buru melepas genggaman Arga yang membelenggu jemari
entah sengaja atau tidak. “Eh sory Vin, sory, gue nggak modus kok.” Argalangsung tanggap dengan perilakuku. Aku
tak menjawab. Langsung kujahit semua plastik yang kondisinya sedikit basah
terguyur hujan. “Duh serius amat Vin, mau dibantu?” Arga menawarikubantuan, entah serius entah tidak.
Matanya terus menatapku, walau aku pura pura tak tahu. “No, thanks!” jawabku
datar. Setelah dua jam berada di ruang itu, akhirnyaaa... eng i eng jadilah tas unyu barbahan dasar
plastik!
            Seminggu,
dua minggu, satu bulan berlalu... Greeners Unyu makin top. Programnya,
anggotanya, semuanya! Senyum mengembang dibibirku. Misiku untuk menjadikan
sekolah ini menjadi “Sekolah Adiwiyata” berhasil. Misi sempurna. Tapi, bukan
berarti kenginan dan kegiatanku untuk menjadikan lingkungan bersih berhenti
sampai disini loh. Semangatku untuk cinta lingkungan masih membara. Akan terus
membara.
            Kelulusan
sudah menanti kakak kelas, termasuk Arga. “Haha, dia segera pergi dan nggak
akan pernah muncul lagi” ucapku kegirangan. Tapi, satu ruang di lubuk hatiku
berontak. Apa ini..? Ah, tidak tidak, nggak mungkin kan cewek pecinta
lingkungan sepertiku falling
in love sama troublemaker perusak lingkungan macam Arga? Hatiku tak karuan. 
            “Vin,
tunggu!” seseorang memanggilku dari arah belakang. Aku berbalik. Itu Arga. “Ada
apa Ga, ada yang bisa kubantu?” aku menjawab datar, pura pura cuek. “Enggak, eh
iya, sebelum aku pergi dari sekolah ini, aku mau kamu nemenin aku nanem pohon
ini” Arga berkata penuh harap. Dia menyodorkan sebuah polybag dengan pohon
mangga yang masih kecil. “Ah, ini kesempatan aku dekat dengannya, untuk yang
terakhir kali” aku membatin. Ribungan bunga tumbuh dihatiku. “Em, gimana ya,
sibuk nih aku” lagi lagi aku sok sibuk. “Ayolah Vin, ini permohonan terakhir
deh, janji!” Arga merajuk. “Okedeh” aku mengiyakan.
            Pekarangan depan ruang menjahit
jadi sasaran menanam kami. Aku grogi berada di dekatnya. Huh, aku berusaha
mengatur nafasku. Kami berdua berkelakar ria. Tak ada kesan “enemy” diantara
kami berdua. Tiba tiba, tangan kami saling bersentuhan. Mukaku merah jambu
seketika. Aku buru buru mengganti ekspresiku jadi sok ngambek (bukan ngambek
beneran loh ya). Arga hanya tersenyum melihat perubahan ekspresiku. Kurasa di
tahu jika aku tersipu malu.
            Setelah
pohon mangga itu selesai kami tanam, kami segera berpisah. Tanpa sepatah kata.
Kami sama sama malu untuk mengatakan perpisah. Tak ada “goodbye”, “dah, jaga
dirimu ya”, ataupun “jangan kangen aku ya”, tak ada. Hanya mata kami yang
saling bicara dengan bahasanya sendiri. Mungkin mata Arga sudah mengucapkannya.
Mungkin kata katanya lebih dalam dari yang kuharapkan. Ah, Kak Arga...
            In
memory, Greeners Unyu vs
The Combro. In memory, Vina
vs Arga. Aku selalu terngiang semua itu. Arga.
Kudengar, di sekolahnya sekarang, dia menjadi Duta Lingkungan. Aku tersenyum
dalam diam. Kak Arga, kapan kita satu teamwork lagi? Just imagination. Tapi, bukankah
ambisiku untuk membentuk Greeners Unyu awalnya juga only imagination? Berarti suatu
saat, aku bisa bertemu Arga lagi? Aku tak tahu. Tapi aku yakin.