Sabtu, 16 November 2013

SEKOLAHKU, LINGKUNGANKU




Karya: Nayla Afifah / X7

Sekolah adiwiyata. Sekolah yang peduli pada lingkungan yang bersih, sehat, dan indah. Sekolah Tania sekarang, berwawasan adiwiyata. Tapi.. Jika kalian memasuki sekolah Tania pastilah tak akan percaya bahwa sekolah itu berwawasan adiwiyata.
Ha? Kok bisa?. Lihat saja! Murid-muridnya bahkan tidak pernah peduli lingkungan sekitar. Mau lingkungannya bersih kek, sehat kek, indah kek mereka sama sekali tak acuh dengan lingkungan sekitar. Sepertinya hanya Tania saja yang terlalu peduli dengan lingkungan sekitar. Guru-guru juga sudah menasehati murid-muridnya dan mengajak mereka untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Tapi perkataan para guru hanya masuk ke telinga kanan dan keluar di telinga kiri.
Walaupun teman-teman Tania juga tak peduli dengan lingkungan, namun semangat Tania untuk membuat sekolahnya bersih, sehat, dan indah tak pernah lenyap. Ia sudah bertekad untuk menyadarkan perbuatan teman-temannya dan membuat teman-temannya sadar akan pentingnya lingkungan yang bersih, sehat, dan indah. Tekad apinya tidak akan pernah padam walaupun perbuatannya sering ditertawakan oleh teman-temannya.
“Ngapain kamu peduli dengan lingkungan. Toh.. lingkungan juga gak bakal peduli pada kita..” tanya seorang teman sekelas Tania
“Kalau kamu tidak peduli dengan lingkungan sekitar, kamu yang akan merasakan akibatnya dikemudian hari..” balas Tania, tegas.
Pada suatu pagi yang cerah. Tania sengaja datang lebih awal ke sekolah karena hari ini adalah jadwalnya untuk piket. Sesampainya di kelas, Tania segera meletakkan tasnya dan menyambar sapu yang ada di kelasnya. Sambil bersenandung, Ia mulai menyapu lantai kelasnya yang sangat kotor.
Beberapa saat kemudian, tampaklah kelas Tania yang sudah bersih dan rapi. Tania tersenyum sendiri melihat hasil kerjanya yang tak sia-sia. Namun selang beberapa detik, Andi salah satu teman sekelas Tania yang dikenal sangat bandel dengan santainya melangkah dan meninggalkan jejak sepatunya yang ternyata sudah terkena tanah.
“Andi!!! Kalau mau masuk kelas bersihkan dulu sepatumu. Aku sudah membersihkan kelas kenapa kau mengotorinya lagi??” Tania menegur teman sekelasnya itu.
“Oh.. ada Tania toh. Haha.. maaf aku gak tahu kamu ada disitu..” Andi hanya nyengir memperlihatkan giginya yang putih bersih.
Tania mendengus sebal. Huh.. udah salah gak sadar lagi!. Dasar gak peka!.
“Bersihkan sepatumu dulu gih! Aku udah capek-capek nyapu!” Tania meninggikan suaranya.
“Males ah.. Ntar aja..” dengan wajah tak berdosa, Andi mengambil sebuah permen dari sakunya. Ia membuka bungkus permen itu dan membuangnya begitu saja ke lantai.
Jika ini di dalam komik, maka kita dapat melihat simpang empat yang tercetak di dahi Tania dan kepala Tania yang sudah berapi-api. Hampir saja urat-urat kemarahan Tania putus. Sabar Tania.. sabar.. kamu gak boleh marah-marah.
Dengan langkah gontai, Tania memungut bungkus permen yang dibuang sembarangan oleh Andi. Setelah membuang bungkus permen laknat itu ke tempat sampah. Tania mengambil pel dan kembali membersihkan lantai yang telah dikotori Andi. Sambil mengepel, Tania mulai bergelayut dengan pikirannya.
Bagaimana caranya aku menyadarkan teman-teman kepada lingkungan ya? Ucapan guru-guru saja gak didengar. Apalagi ucapanku, pasti tambah gak didengar!’ pikir Tania, ‘Tapi dimana ada masalah pasti ada jalan keluarnya. Aku yakin! Suatu saat nanti mereka akan sadar pentingnya lingkungan bersih, sehat, dan indah! Aku yakin! Sangat yakin!
Apakah keyakinan Tania akan terkabul?. Entahlah.. tapi yang jelas semangat Tania tidak akan pernah goyah untuk menyadarkan teman-temannya.
Besok adalah hari ulang tahun sekolah Tania tercinta. Sekolahnya sendiri akan mengadakan acara menanam pohon dan pentas seni. Setiap siswa diperbolehkan membawa bibit pohon dan menanamnya di halaman sekolah. Namun bagi yang tak membawa, sekolah juga menyediakan bibit-bibit yang akan ditanam. Mendengar tentang menanam pohon, semangat Tania membara. Ia tak sabar menanam bibit pohon mangga yang barusan dibelinya. Ia dapat membayangkan ketika bibit pohon mangga ini sudah tumbuh besar dan berbuah. Pastilah buahnya dapat dinikmati bersama. Ah.. mangga! Buah kesukaan Tania.
Mentari tersenyum hangat kala hari yang sangat dinantikan Tania tiba. Hari ulang tahun sekolahnya, hari menanam bibit pohon mangganya. Entah mendapat tenaga dari mana sehingga Tania sanggup membawa lima buah bibit pohon mangga sekaligus. Mungkin karena suasana hatinya yang sedang cerah secerah mentari hari itu. Yah.. mungkin.
Ia melangkahkan kakinya cepat menuju kelasnya. Dan betapa terkejutnya Ia ketika mendapati semua teman sekelasnya tidak membawa bibit pohon. Satupun tak ada! Di kelas tersebut hanya dirinya seoranglah yang membawa bibit pohon.
“Kok.. pada gak bawa bibit sih?” tanya Tania.
“Kemarin aku sibuk, makanya gak sempat membeli bibit pohon..” jawab Andi.
Tania tak yakin yang dikatakan Andi benar. Ia dapat melihat mata Andi yang menyiratkan kebohongan.
“Lagi pula sekolah juga sudah menyediakan bibitkan? Kenapa harus repot-repot membeli bibit jika sekolah sudah menyiapkannya..” jawab Andi lagi.
Tapi ternyata perkataan Andi salah besar!. Sekolah memang sudah menyediakan bibit pohon, tapi ternyata jumlahnya tak seberapa. Dan yang paling mengagetkannya lagi, dari ratusan murid di sekolahnya hanya dirinyalah yang membawa bibit. Catat itu! HANYA TANIA!. Tentu saja bibit pohon yang disediakan sekolah tak sebanding dengan jumlah murid yang tidak membawa bibit pohon. Haduh.. haduh.. tingkah murid-murid di sekolahnya memang benar-benar ‘menabjubkan’. Menabjubkan dengan tanda kutip tentunya.
Dan yang benar-benar ‘menabjubkannya’ lagi, kegiatan menanam pohon itu tidah dilakukan dengan serius. Banyak murid yang membiarkan bibitnya begitu saja, menyentuhnya saja tidak!. Termasuk Andi, teman sekelas Tania.
“Andi... cepat tanam bibit pohonmu itu!” tegur Tania.
“Bentar Tan, ada SMS dari teman jauhku. Sayang kalau gak dibalas.. maklum namanya juga teman jauh..”
Tania menghela nafas melihat kelakuan Andi. Tidak ada bedanya kelakuan Andi dengan murid-murid yang ‘menabjubkan’ lainnya.
Setelah acara menanam pohon yang ‘menabjubkan’ itu selesai. Tibalah saatnya untuk pentas seni. Berbeda dengan kegiatan menanam pohon tadi, kini terlihat para murid yang sangat sangat sangat antusias terhadap acara itu. Pentas seni berbanding terbalik dengan kegiatan mananam pohon. Saking antusiasnya, teriakan ratusan murid sampai terdengar ke luar sekolah.
Tania yang memang tidak suka dengan keramaian, akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia masih memikirkan kegiatan menanam pohon tadi.
Ah.. sudahlah tidak usah memikirkan hal itu lagi. Mungkin saja para murid kurang antusias terhadapa kegiatan menanam pohon karena bibit pohon yang kurang banyak..’ pikir Tania sebelum menuju ke alam mimpinya.
Pikiran yang sangat konyol memang. Tapi pikiran tersebut justru membuat Tania lebih tenang dan tidak terbayang-bayang kembali kegiatan menanam pohon tadi. Setelah berpikiran seperti itu, Tania merebahkan dirinya di kasur dan memejamkan matanya perlahan untuk berkunjung ke dunia mimpi.
Keesokan harinya, Tania cengo menatap sekolahnya. Oh.. astaga! Apa yang dilakukan murid-murid di sekolahnya sehingga seluruh halaman sekolahnya menjadi super berantakan dan dipenuhi sampah. Bukan sampah-sampah dengan jumlah sedikit, melainkan sampah-sampah dengan jumlah super banyak yang dapat membuatmu menganga lebar sambil berkata ‘WOW’. Bahkan Tania dapat melihat beberapa bibit pohon yang tergeletak begitu saja dan sudah diinjak-injak. Tania yakin bahkan guru-guru dan cleaning service di sekolahnya tak akan sanggup membersihkan sampah-sampah tersebut.
      “Oh.. Ya Tuhan. Sebenarnya semenabjubkan apa mereka sehingga membuat lingkungan sekolahku menjadi seperti ini?!! Arrrrghhhh!!!” Tania frustasi sambil mengacaj-acak rambutnya.
Lihatlah semua sampah ini!. Apakah kau akan berfikir untuk membersihkan sampah sebanyak ini? Kurasa jawabanmu adalah tidak. Karena sampah disini terlalu banyak. Terlalu, terlalu, terlalu banyak.
Tapi bukan Tania namanya kalau tak peduli terhadap lingkungan sekitar. Ia berjalan dan memunguti semua sampah itu. Walaupun Ia tahu bahwa dirinya tidak dapat membersihkan semua sampah ini. Satu per satu sampah itu diambilnya kemudian di masukkan ke dalam tempat sampah berdasarkan jenisnya. Kelihatannya sih.. sampah yang diambil Tania sudah banyak, tapi ternyata Tania hanya memungut seperempat bagian dari sampah-sampah tersebut.
Memungut seperempatnya saja sudah membuat tangan Tania pegal-pegal dan ngos-ngosan. Peluhnya sudah bercucuran karena kelelahan.
“Lebih baik kulanjutkan nanti saja. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi..” Tania mengelap peluhnya kemudian berjalan menuju kelasnya.
Siang itu, Tania tak dapat melanjutkan kegiatannya untuk memungut-mungut sampah yang tersisa. Hujan deras mengguyur sekolahnya. Sudah dua jam yang lalu hujan itu terus mengguyur tanpa henti. Sambaran kilat dan petir menyertai hujan yang amat deras tersebut.
Tania sedikit cemas. Dengan hujan deras seperti ini, dan sampah yang bertebaran pastinya akan membuat banjir. Apalagi jumlah sampah yang tidak bisa dikatakan sedikit itu masih tersisa di lingkungan sekolahnya.
Dan apa yang Tania cemaskan benar-benar terjadi!. Sekolahnya kebanjiran!. Bukan banjir yang besar memang, namun semua kelas sudah tergenang oleh air.  Airnya hanya setinggi mata kaki, namun yang namanya banjir tetap saja banjir. Semua murid panik. Bahkan ada beberapa yang komat-kamit mengucapkan doa agar air yang menggenang tidak bertambah tinggi.
“Kenapa bisa banjir sih? Perasaan tadi baik-baik saja..” tanya Andi.
“Karena sampah..” jawab Tania.
“Sampah?”
“Ya.. Karena sampah. Sampah yang kalian buang begitu saja membuat sekolah kita kebanjiran. Apalagi sampah-sampah itu sangat-sangat banyak!. Kalian sih.. disuruh memperhatikan lingkungan sekitar malah cuek bebek. Akukan sudah pernah bilang, jika tidak peduli terhadap lingkungan maka kalian akan merasakan akibatnya dikemudian hari!. Dan liat sekarang! Sekolah kita kebanjiran! Salah siapa? Salah kita semua bukan? Karena tidak pernah peduli terhadap lingkungan!”
Suasana hening seketika. Semua teman-teman Tania diam tak bergeming. Apa yang dikatakan Tania memang benar. Mereka salah. Semuanya bersalah. Selama ini mereka tak pernah dan bahkan tak ada niat sedikitpun untuk peduli terhadap lingkungan.
“Kami sadar. Bahwa kami bersalah..” ucap Andi.
“Kalau kalian benar-benar sadar, jangan hanya mengucapkannya di mulut. Tetapi juga dilakukan. Bagaimana jika kalian membantuku membersihkan sampah-sampah di seluruh halaman sekolah?” usul Tania.
“Dulu.. Kami akan selalu menartawakan ajakanmu untuk peduli terhadap lingkungan. Namun sekarang, kami akan selalu berkata ‘Ya’ jika kau mengajak kami untuk peduli terhadap lingkungan..”
Tania tersenyum. Semua teman-temannya juga ikut tersenyum.
“Baiklah.. Sekarang mari kita membersihkan sekolah kita!”
“Ayo!”
Seperti kebanyakan cerita yang selalu berakhir bahagia. Cerita inipun begitu. Semua murid di sekolah Tania akhirnya menyadari pentingnya memperhatikan lingkungan yang bersih, sehat, dan indah.
Setelah sekian lama, sekolah Tania benar-benar menjadi sekolah yang layak mendapatkan sebutan adiwiyata. Atas usaha semua murid, sekolah mereka kini menjadi lebih bersih, asri, dan tampak indah untuk dilihat. Usaha Tania untuk menyadarkan teman-temannya sukses sudah!. Tapi… kenapa harus ada banjir dulu baru teman-temannya sadar?. Jika Tania tahu bahwa dengan bencana banjir di sekolahnya dapat menyadarkan teman-temannya, seharusnya sudah dari dulu dirinya membuat sekolah itu banjir. Konyol? Haha tentu saja! Tania mana mungkin bisa membuat banjir!. Ya.. sudahlah tak perlu dibahas lagi. Yang lalu biarlah berlalu, toh.. Tania juga sudah berhasil menyadarkan teman-temannya untuk peduli terhadap lingkungan.
Kau bisa mengambil makna dari cerita ini bukan?. Merawat lingkungan sejak sekarang, akan merasakan nikmatnya suatu saat nanti. Begitu pula sebaliknya, jika kau sama sekali tak acuh terhadap lingkungan maka kau akan merasakan akibatnya dikemudian hari.
TAMAT