Senin, 18 November 2013

Tiga Gadis Kecil Penyelamat Hutan



Oleh : Listiani Dwi Lestari


 
Aca, Eca, dan Ica bersahabat baik. Bahkan dapat dikatakan mirip lagu “Persahabatan bagai kepompong”. Mereka mempunyai kesamaan, yaitu menyukai tanaman. Sampai-sampai di rumah mereka ada taman kecil buatannya. Mereka menanam berbagai jenis tanaman di taman. Paling banyak tanaman bunga. Mulai dari mawar, melati, kamboja, dan masih banyak lagi. Dapat dikatakan mereka cinta tanaman.
Rumah mereka berdekatan. Kalau ingin ketemu, mereka bisa janjian kapan saja. Di belakang rumah mereka terdapat hutan yang luas. antara rumah dan hutan itu dipisahkan oleh sebuah sungai yang cukup lebar. Sungai itu bening dan mengalir pelan. Ada jembatan yang menghubungkan hutan dengan desa tempat mereka tinggal.
Suatu hari, ketika Eca sedang menyiram tanaman, ia mendengar suara bising mesin dan hantaman benda keras. Eca memasang telinga dengan tajam. Ia menyelidik sumber suara. Eca mendekat ke tepi sungai. Ternyata sumber suara itu dari hutan sebrang sungai. Eca segera menghubungi Aca dan Ica. Mereka memutuskan dan memberanikan diri untuk ke hutan.
Ketika di tengah perjalanan, langkah mereka terhenti. Ternyata mereka melihat seorang laki-laki sedang menebang pohon di hutan. Pohon yang ditebang itu besar-besar. Penebangan dilakukan dengan kapak dan gergaji mesin. Mereka tercengang melihat penebangan itu. Setengah jam mereka mengamati lelaki penebang pohon itu. Bruuussss…. Suara memecah di hutan. Sebuah pohon besar tumbang. Dengan muka puas sambil menyeka keringat di dahi, lelaki itu telah menumbangkan pohon. Mereka masih mengamati dengan penuh gelisah dari kejauhan. Tak berapa lama kemudian lelaki itu mengemasi peralatannya. Setelah selesai mengemasi peralatan lelaki itu mengayunkan kaki menjauhi tempat ia menebang pohon. Nampaknya ia pulang.
Melihat kejadian itu, mereka langsung ke rumah Eca. Mereka begitu serius membicarakan lelaki penebang pohon tadi. Tentu karena mereka adalah pecinta tanaman.
“Siapa oran itu tadi?” tanya Aca memulai pembicaraan dengan wajah penuh tanya.
“Orang itu akan membabat hutan terus-menerus. Kacau ini!” Sahut Eca.
“Mengapa orang itu sendiri?” Selidik Ica ingin tahu.
“Kita harus selidiki ini!” Eca mengusulkan.
“Setuju!” Jawab Aca dan Ica serentak.
“Tapi kapan?” sambung Aca.
Mereka berunding dengan cepat. Rencana menyelidiki si lelaki penebang pohon itu akan dilakukan besok sore. Itu atas usul Ica. Ica menyuruh Eca memberitahukan Ica dan Aca apabila besok sore mendengar suara mesin dari hutan.
“Kalau kamu mendengar suara bising dari hutan segera kabari aku dan Aca!” Ica memerintahkan.
Eca menyetujui itu. Walaupun mereka telah membubarkan diri, namun dalam benak mereka masih tersimpan tanya. “Mengapa lelaki itu menebangi pohon di hutan?” “Siapa pula lelaki itu?”
Pagi hari mereka menjalankan aktivitas seperti biasa. Pergi ke sekolah dan belajar dengan giat. Di sekolah mereka menanyakan pentingnya hutan bagi kehirupan. Selain itu juga menanyakan sangsi yang akan diterima para penebang pohon tanpa izin di hutan yang dilindungi.
“Penebangan secara liar akan menyebabkan global warming. Mengganggu ekosistem di hutan yang ditebangi itu. Juga menyebabkan erosi dan tanah longsor.” Jelas Bu Ismi, guru IPA di sekolahnya.
Setelah pulang sekolah. Eca tak lupa melihat tanaman kesayangannya. Hari belum begitu sore. Eca mendengar suara bising itu lagi dari hutan. Tanpa basa-basi Eca menghubungi Aca dan Ica. Sanyang, Aca gak di rumah. Kata kakanya, dia sedang ke dokter melihat perkembangan amandelnya. Eca hanya berdua saja yaitu dengan Ica. Walaupun berdua itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk mengetahui siapa dan apa tujuan si lelaki itu menebang pohon.
Setelah melewati jembatan yang menghubungkan desa dengan hutan mereka menyusuri jalan menuju asal suara bising itu. Sekitar seratus meter mereka mengamati lelaki penebang pohon itu. Eca dan Ica sedikit gemetar. Takut kalau lelaki itu mengetahuinya. Bisa-bisa kepala mereka ikut di penggal seperti pohon-pohon di hutan. Hi…ngeri! Perasaan mereka.
Mereka tidak begitu jelas melihat lelaki itu. Walau merasa takut mereka mencoba melawannya. Mereka ingin melihat lebih dekat lelaki itu. Mereka mengendap-endap dari satu semak ke semak lain. Mereka sangat hati-hati. Satu kesalahan bisa berakibat fatal. Mereka kadang-kadang bersembunyi di balik pohon besar yang masih belum sempat ditebang lelaki itu. Sekarang jarak mereka tidak terlalu jauh. Mereka bisa melihat si lelaki itu dengan jelas. Namun jika ketauan, akibatnya juga lebih jelas. Dipenggal dengan kapak yang tajam.
“Hah….itu Pak Bowo.”
“Ssttt! Kamu mau bunuh diri? Teriak sekeras itu,” kata Eca sambil membungkam mulut Ica.
Sejenak lelaki penebang pohon itu menghentikan mesinnya. Bisa jadi suara Ica didengarnya. Sejenak hutan lenggang. Mata lelaki itu menyelidik ke sekitar penebangannya. Wajahnya hitam, tatapannya menyeramkan. Kulitnya hitam legam, karena terbakar sinar matahari setiap hari. Nampak badannya tinggi kekar. Pantas saja jika mesin pemotong kayu itu mampu ia jinjing dengan satu tangan saja.
Eca dan Ica gemetaran di balik pohon jati besar. Mereka membayangkan kalu ketauan bakalan dipenggal leher mereka, bisa dengan kapak atau gergaji mesin itu. Huhh…ngeri banget! Eca dan Ica memandang satu sama lain. Agak lama lelaki itu mematikan mesinnya. Eca memelototi jam tangannya. Pukul 17.00. Sudah setengah jam mereka hanya saling pandang. Eca memberanikan diri melihat ke arah lelaki itu tadi. Menyelidik dengan teliti. Benar-benar ia menyisir tempat penebangan itu dan sekitarnya. Tak ada siapapun. Peralatannya pun tak ada satupun. Eca segera mengulurkan tangannya kepada Ica. “Aman.” Ica keluar. Mereka segera berlari tertatih-tatih menuju jembatan. Seteah berhasil menyebrangi sungai mereka singgah di rumah Eca.

“Kamu kenal lelaki itu?” Tanya Eca sambil mengatur nafasnya.
“Iya. Lelaki itu Pak Bowo.”
“Dia pernah ke rumahku. Ada urusan dengan bapakku. Setauku, mendengar pembicaraan dengan bapakku, dia penebang kayu liar. Dia pernah ke rumah mau meminta kerjasama dengan bapakku supaya diizinkan menebang pohon di hutan lindung dekat desa kita. Sontak, waktu itu bapakku menolakknya.” Jelas Ica.
“Kita laporkan aja sama bapakmu,” Desak Eca.
“Besok kita ngomong ke bapakku, ya?”
Kebetulan hari ini Minggu. Tentu mereka libur sekolah. Eca menelpon Ica. Mereka janjian akan menjenguk Aca, sekalian mau ke rumah Ica untuk ngomong soal kemarin itu. Ica sepakat. Pertama mereka ke rumah Aca. Ternyata Aca sudah sehat, amandelnya sudah dinyatakan membaik oleh dokter. Setelah menjelaskan hasil penyelidikan ke Aca, mereka memutuskan untuk ke rumah Ica.
Kedatangan mereka di rumah Ica disambut hangat oleh bapak dan ibunya. Mereka dengan serius –seperti orang dewasa- menjelaskan hasil penyelidikan mereka selama beberapa hari kemarin. Bapaknya Ica kaget.
“Ini sudah pelangaran hukum. Harus segera ditindak!”
Itu jawaban bapaknya Ica menanggapi laporan tiga sekawan itu. Mereka juga menjelaskan keadaan hutan yang sudah lima puluh persen ditebang.
Tiga hari berlalu begitu cepat. Tiga sekawan itu lebih tenang. Mereka telah melaporkan kejadian itu pada bapaknya Ica. Mereka mengira pasti lelaki itu –Pak bowo- dilaporkan polisi. Seperti bisasa Eca menyirami tanaman setelah pulang sekolah. Sudah dua hari ini ia tidak mendengar suara bising dari hutan. Eca menelpon Ica. Eca sekarang tahu mengapa suara bising itu tidak terdengar lagi. Benar dugaan mereka, Pak Bowo telah mendekam di penjara. Kata Ica, bapaknya langsung melapor ke polisi setelah mendapat informasi dari tiga sekawan itu.
Eca, Aca, dan Ica sore ini pergi ke hutan. Tumpukan kayu sudah tak ada. Hanya sampah penebangan saja yang tersisa dan kesedihan hutan yang terenggut kebahagiaannya oleh mesin dan kapak. Melihat keadaan tersebut, tiga sekawan itu duduk di batang pohon bekas ditebang. Cukup besar.
“Kita harus membuat hutan ini lebat kembali.” Ucap Eca seketika.
“Bagaimana caranya Ca? luas sekali hutan yang rusak.” Keluh Ica.
“Gak mungkin kan kita bertiga mau menanam pohon di lahan seluas ini. mau selesai berapa tahun?” Aca agak putus asa.
“Bagaimana kalian ini. Teman-teman TPA kita kan ada tu sekitar seratus.  Kita undang mereka berwisata di hutan ini. Bawa alat untuk membersihkan sampah dan membawa satu bibit pohon. Pohon apa saja boleh. Bagaimana?” Eca nampak bersinar-sinar wajahnya.
“Nah..itu baru ide jenius Ca.” Aca dan Ica serentak sambil tos.
“Kapan kita mau ngundang mereka?” tanya Ica.
“Besok sore kan kita TPA, kita undang mereka besok sore. Kita beritahuan bahwa Minggu kita ajak mereka seperti rencanaku tadi.” Eca mengeluarkan lagi ide brilliant nya.
“Bagaimana dengan konsumsinya nech?” tiba-tiba Eca bicara lagi.
“Beres. Serahkan padaku kalau itu. Soal makanan, orangtuaku pasti setuju kalau mau dipakai untuk kegiatan seperti ini.” Aca tiba-tiba bicara sambil tertawa riang walaupun terhalang pipinya yang tembem.
Minggu yang dinanti sudah tiba. Pukul 08.00 semua pasukan dari TPA di desa mereka tiba di depan rumah Aca. Setelah mendapatkan pengarahan dari Eca mereka segera mengambil bungkusan yang disediakan oleh orangtua Aca. Dari kejauhan tampak sangat kompak sekali. Seperti petani kecil yang mau demo mengolah sawah. Sambil bercanda mereka berjalan menuju hutan. Tentu dengan mengikuti Ica yang mendapat tugas sebagai petunjuk jalan.
Setelah tiba di hutan, tanpa diberi komando lagi mereka sibuk dengan bagian masing-masing. Sebagian membersihkan sampah dan sebagian lagi menanam pohon. Jam menunjukkan pukul 10.00. Mereka beristirahat sambil membuka bekal. Mereka menikmati sekali bekal itu. Setelah sejenak, mereka melanjutkan lagi karena tinggal sedikit pohon yang belum tertanam. Sejam kemudian semua sudah beres. Mereka mengabadikan itu dengan berfoto-foto. Dengan senyum puas, tiga sekawan itu membawa pasukan TPA pulang. Sempurna. Hutan sudah bersih dari sampah dan kini harapan baru telah mereka tanam.
Satu tahun kemudian. Hore…. Ye…. Yess….. tiga sekawan dan rombongan TPA berteriak di hutan yang kini rimbun. Mereka memenuhi janji mereka untuk berkumpul kembali di hutan pada tanggal yang sama dengan penanaman. Mereka berlari berhamburan mencari pohon yang telah mereka tanam. “Kalau mau berusaha pasti bisa.” Suara hati tiga sekawan itu.
“Hutan ini menjadi simbol persaudaraan kita.” Teriak Eca.
“Kita harus menjaga hutan ini seperti menjaga persaudaraan kita” teriak Ica. Eca meneriaki teman-temannya untuk berkumpul sedangkan ia beridir di atas pangkal pohon bekas penebangan tahun lalu.
“Sayangilah bumi kita ini kawan!” Teriak Ica.