Rabu, 20 November 2013

Pengumuman Pemenang

      Dari Puluhan Karya yang Telah Dikirimkan dan Di seleksi secara Ketat
Akhirnya Pihak Juri Memutuskan Bahwa 

  • Cerpen " Paralysis " Karya Shafira Anissa dari SMP Muhamadiyah 2 Yogyakarta sebagai Juara Pertama, dan

  • Puisi " Rindu Bumi Yang Hijau " Karya Paramitha Edwinda dari SMP Negeri 12 Yogyakarta sebagai Juara Kedua



Berikut adalah Hasil Karya dari para pemenang




Paralysis

Aku suka sekali tanaman.
Mama dan Papa bekerja di tempat perkebunan. Tiap hari, mereka memperlihatkan padaku jenis-jenis tanaman, dari yang merah, putih, kuning, bahkan hitam. Semuanya kelihatan bagus dan rapi. Papa sukaaa sekali menceritakan padaku tentang mereka—terutama bunga mawar yang dinamai Papa si ‘Merah’—dengan sangaaat detail. Kurasa, dari merekalah aku mendapat ciriku itu—menyukai tanaman.
Mimpiku adalah untuk bisa menyelimuti bumi ini dengan kehijauan mereka!
“Hijau, hijau, hijau tamanku,” lantunku dalam hati, “Hijau favoritku!”
Hari itu aku mengambil sekantung bibit milik Mama—aku percaya Mama pasti nggak akan marah, kok—untuk di tanam di depan rumah. Aku nggak tau itu bibit apa, tapi Mama bilang, nanti kalau sudah mekar bagus, kok. Jadi-nya ‘kan, nggak apa-apa.
Kemarin Mama membelikanku sekop. Warnanya biru terang, kata Mama itu warna yang cocok buatku. Warna biru’kalem’ katanya. Kalem itu apa, ya? Besok aku tanyakan Mama, deh. Oh, ya. Mama dan Papa dimana ya...?
“Ya sudah, nyari Mama sama Papa nanti, deh.
Di depan rumah, dengan sekopku kukorek tanah yang masih kosong. Sebagian besar sudah banyak isinya, tapi masih ada yang kosong. Kubuka kantung bibit Mama. Sulit sekali membukanya, siapa sih yang menutupnya? Akhirnya, kupaksa terbuka...
...Hasilnya, kantungnya robek dan bibitnya tumpah semua...
“Wah!” Pekikku saat bibit-bibit Mama tumpah. Mama pasti akan marah kalau begini... apa yang harus kulakukan...?
O-oh ya! Aku tanam saja semua bibit yang tumpah... pasti Mama malah senang ada banyak yang tumbuh. Sekarang, siraman Mama mana ya...? Biasanya sih, Mama taruhnya di belakang rumah. Coba lihat, deh!
Setelah sampai di belakang rumah, ternyata Mama memang ngeletakin-nya disitu! Sekarang, waktunya menyiram...~
Setelah tugasku selesai, aku langsung masuk rumah dan cuci tangan. Mama dan Papa, ‘kok, masih nggak kelihatan ya...? Apa mereka keluar?
“Mama? Papa?” Panggilku dengan keras. Rumahku kecil, jadi seharusnya Mama dan Papa dengar, tapi ‘kok... nggak ada jawaban, ya...?
“Ma? Pa? Mama ada di mana? Papa di rumah, ‘kan?” ...Coba kalau aku keliling rumah. Pasti ketemu, deh!
Di kamar Mama dan Papa... nggak ada.
Di kamarku... juga nggak ada...
Di dapur? Tadi ‘kan, aku sudah ke dapur!
Terus, terakhir, kalau di ruang keluarga... nggak ada juga...
“Mama?!” Teriakku, “Papa?! U-uwa—uh... hueh...
N-nggak boleh nangis! Nanti kalau nangis... nggak bakal ketemu... kata Mama, kalau nangis nanti malah makin buntu...! Setelah menggelengkan kepalaku dan membersihkan—er... maksudku mengusap mataku! Aku nggak nangis, kok—aku memandang sekeliling. Siapa tahu, Mama pergi tanpa ngomong dulu...
Di atas meja, ada kertas mengkilap. Tadi kayaknya nggak ada! Mungkin Papa yang meninggalkannya.
Mama dan Papa ada di taman hutan dekat rumah.
Dedek kesana, ya!
Nanti ketemuan Mama sama Papa, terus kita makan di luar.
Papa dan Mama menunggu.
-Papa.
Di... taman hutan...!
“Tunggu, Mama, Papa! Sebentar lagi aku sampai!”
Jalan ke taman hutan memang nggak jauh-jauh amat, kok. Tinggal dari rumah, terus ke kanan... ke kiri, terus lewat pancuran air! Nanti lurus saja...—
“...Eh!?” Di seberang jalan, aku melihat ada orang membuang sampah ke dalam pot bunga. J-jangan, dong! Berhenti... berhentilah! Pergi, menjauh dari pot itu...!
“BERHENTI!!” Teriakku, namun semua seperti tak mendengarnya. Bahkan orang itupun hanya berjalan melewati pot itu seakan-akan hal yang dilakukannya barusan tidak terjadi.
Aku nyaris tak dapat menoleh. Kenapa... kenapa Ia dapat melakukan hal seperti itu...? Aku harus kesana... dan membersihkan pot bunga itu... kasihan bunga—
Papa dan Mama menunggu.
Surat itu terbayang di benakku. Aku nggak boleh lama-lama... nanti... Papa dan Mama...
“...Maaf, bunga! Aku harus cepat ke tempat Mama dan Papa..”
Rasanya kepalaku sakit, dan mendadak, dadaku juga...
Lama-lama jalanku melambat juga. Kepalaku sakiiit sekali, entah mengapa. Dadaku terasa terbakar...
Aku memutuskan untuk berhenti sebentar. Mama... Papa...
Agak jauh di sebelahku, aku melihat pot besar. Isinya baru tunas kecil, berwarna hijau muda. Rasanya sejuk memandangnya...
Tiba-tiba seorang tante lewat, tangan kirinya berkutat dengan handphone-nya, tangan kirinya membawa plastik makanan. Melewati pot tunas, tante itu langsung membuang sampahnya dengan acuh tak acuh.
“Jangan!” Teriakku. Namun, seperti tadi, tante itu seakan tak melihatku. Ia tetap memandang layar HP-nya, tanpa bahkan memandangku sedikitpun.
“TANTE!!” Teriakku lagi, namun Ia malah terlihat tambah tak peduli.
Ah... kepalaku sakit.
Setelah memandangi pot bunga itu, aku melanjutkan perjalanan ke taman hutan.
Mama...
Papa...
Aku ingin bertemu...
Setelah perjalanan yang terasa sangaaat panjang, akhirnya aku sampai juga ke Taman Hutan. Taman itu penuh pohon-pohon besar, sehingga akhirnya dipanggil taman hutan. Mama seharusnya ada disini, menungguku bersama Papa.
“Mama? Papa?”
Aku berjalan masuk ke dalam Taman Hutan. Dan yang kulihat, bukannya Mama dan Papa, malah orang-orang yang menebang pohon dengan kapak-kapak mereka yang bersinar mengkilat, dan mesin-mesin besar yang dengan cepatnya menghancurkan taman hutan...
...hancur...
“HENTIKAN!!!”
Nafasku terasa tercekat.
Pandanganku makin lama makin kabur.
Kepalaku terasa sakit sekali.
Pusing.
Mama. Papa.
“HENTIKAN!!!”
“...Ah!”
Mataku terbuka.
Pemandangan familier kamarku, yang dindingnya dan langit-langitnya dari kayu. Udaranya terasa lembap. Ingin rasanya kugerakkan kakiku; tapi aku tak dapat merasakan apapun. Dibawah selimut putih kusam ini, rasanya tak ada diriku. Aku tak bisa merasakan apapun.
Angin bertiup. Gorden tipis jendela terbuka melambai-lambai, seakan-akan tertawa.
Pemandangan luar gersang, tanpa ada tanaman apapun. Tanah kering kusam, lantai berderit.
“HENTIKAN!!”
Segalanya...
Mengabur menjadi hitam.


=====================================================



RINDU BUMI YANG HIJAU

Kesejukkan yang menjelma di pagi hari
Melihat cerahnya senyum mentari
Mengikuti haluan cerita
Diikuti warna hijau daun

Indahnya permai hutanku
Kau adalah paru-paru dunia
Dalam rindangnya daun-daunmu
Membentang semua memori tentang dunia ini

Kini semua itu telah tiada
Telah lenyap
Dan desiran rumput yang sunyi pun hilang
Merintis kesepian tanpa ada suara



Tanah subur menjadi gersang
Bumi semula hijau kini musnah sudah
Hutan hijau tampak hitam
Langit biru tampak gelap

Sampah-sampah plastik yang tercemar
Yang menimbun sungai-sungai
Mari kita bersihkan itu
Salah satunya dengan daur ulang

Wahai kawan…
Perjalanan kita masih panjang
Masa depan masih menghadang
Dunia masih terpampang

Mari kita galakkan penghijaun
Dengan membudayakan menanam pohon
Lingkungan alam hijau akan kembali
Kehidupan manusia akan kembali

Warnai dengan senyuman daun-daun
Ranting-ranting yang menari-nari
Hembusan angin yang segar
Menghiasi kehidupan dunia ini 

 

 

Dan dengan Begini maka Berakhirlah Lomba Karya Tulis Memperingati HAri Jadi SMA N 1 Banguntapan ........ Dan bagi yang tidak menjadi Pemenang Jangan Putus asa


Sampai Jumpa di Event Selanjutnya 



 NB:                                                                                                                           
Karya yang dikirimkan setelah Pengumuman ini akan tetap dimuat di Blog Ini

Selasa, 19 November 2013

TANGISAN SANG PENGHUNI HUTAN

Oleh : Aprediakanina Regita W ( SMP Muhammadiah 2 Yogyakarta )
Teriakan pohon yang tak henti-hentinya
Seakan menangis tuk terakhir kalinya
Sebelum semua berubah menjadi hitam
Sebelum gergaji mengahantam tubuhnya
Aku hanya makhluk tak berdaya
Yang tak tau harus berbuat apa
Mungkin  tangisan yang dapat ku lakuakan
Melihat kejamnya perbuatan mereka
Lari dan terus berlari
Menyelamatkan nyawaku
Dari serbuan asap beracun
Dari para pemburu liar
Jika aku dapat berharap
Aku hanya ingin tuk kembalikan hijau rumahku
Tempatku dulu berteduh
Tempatku dulu bermain
Namun,
Harapan hanya harapan
Semua telah terjadi
Semua tak akan kembali

Jeritan Mereka

 Oleh : Amelia Andriyani  S

Desir hehijauan,
Bergemuruh,
Menyentuh puncak langit,
Mencoba,
Berkirim makna,
Melewati sanubari manusia,
Namun,
Tak dapat diterima,
Karna kalbu tlah diperbudak,
Oleh hasrat melewati batas,
Mereka menjerit dalam diam,
Mencoba berbisik,
Tapi tak diusik,
                Entah,
                Detik atau waktu,
Tak tega menjawab,
Kini,
Mereka sengsara,
Merana,
Menitikkan titik biru,
Berkhayal,
    Akankah kita sadar?
    Tuk mengasihinya?
    Tuk membelanya?
    Terlebih menguatkannya?