Akhirnya Pihak Juri Memutuskan Bahwa
Cerpen " Paralysis " Karya Shafira Anissa dari SMP Muhamadiyah 2 Yogyakarta sebagai Juara Pertama, dan
Puisi " Rindu Bumi Yang Hijau " Karya Paramitha Edwinda dari SMP Negeri 12 Yogyakarta sebagai Juara Kedua
Berikut adalah Hasil Karya dari para pemenang
Paralysis
Aku suka sekali tanaman.
Mama dan Papa bekerja di tempat
perkebunan. Tiap hari, mereka memperlihatkan padaku jenis-jenis tanaman, dari
yang merah, putih, kuning, bahkan hitam. Semuanya kelihatan bagus dan rapi.
Papa sukaaa sekali menceritakan
padaku tentang mereka—terutama bunga mawar yang dinamai Papa si ‘Merah’—dengan sangaaat detail. Kurasa, dari merekalah
aku mendapat ciriku itu—menyukai tanaman.
Mimpiku adalah untuk
bisa menyelimuti bumi ini dengan kehijauan
mereka!
“Hijau,
hijau, hijau tamanku,” lantunku dalam hati, “Hijau favoritku!”
Hari itu aku mengambil sekantung bibit
milik Mama—aku percaya Mama pasti nggak akan
marah, kok—untuk di tanam di depan rumah. Aku nggak tau itu bibit apa, tapi Mama bilang, nanti kalau sudah mekar
bagus, kok. Jadi-nya ‘kan, nggak apa-apa.
Kemarin Mama membelikanku sekop.
Warnanya biru terang, kata Mama itu warna yang cocok buatku. Warna biru’kalem’ katanya.
Kalem itu apa, ya? Besok aku tanyakan Mama, deh. Oh, ya. Mama dan Papa dimana ya...?
“Ya
sudah, nyari Mama sama Papa nanti, deh.”
Di depan rumah, dengan sekopku kukorek
tanah yang masih kosong. Sebagian besar sudah banyak isinya, tapi masih ada
yang kosong. Kubuka kantung bibit Mama. Sulit sekali membukanya, siapa sih yang menutupnya? Akhirnya, kupaksa
terbuka...
...Hasilnya, kantungnya robek dan
bibitnya tumpah semua...
“Wah!” Pekikku saat bibit-bibit Mama
tumpah. Mama pasti akan marah kalau begini... apa yang harus kulakukan...?
O-oh ya! Aku tanam saja semua bibit
yang tumpah... pasti Mama malah senang ada banyak yang tumbuh. Sekarang, siraman Mama mana ya...? Biasanya sih, Mama taruhnya di belakang rumah.
Coba lihat, deh!
Setelah sampai di
belakang rumah, ternyata Mama memang ngeletakin-nya
disitu! Sekarang, waktunya menyiram...~
Setelah tugasku selesai, aku langsung
masuk rumah dan cuci tangan. Mama dan Papa, ‘kok,
masih nggak kelihatan ya...? Apa mereka keluar?
“Mama? Papa?” Panggilku dengan keras.
Rumahku kecil, jadi seharusnya Mama dan Papa dengar, tapi ‘kok... nggak ada jawaban, ya...?
“Ma? Pa? Mama ada di mana? Papa di
rumah, ‘kan?” ...Coba kalau aku keliling rumah. Pasti ketemu, deh!
Di kamar Mama dan Papa... nggak ada.
Di kamarku... juga nggak ada...
Di dapur? Tadi ‘kan, aku sudah ke
dapur!
Terus, terakhir, kalau di ruang keluarga...
nggak ada juga...
“Mama?!” Teriakku, “Papa?! U-uwa—uh...
hueh...”
N-nggak boleh nangis! Nanti kalau
nangis... nggak bakal ketemu... kata Mama, kalau nangis nanti malah makin
buntu...! Setelah menggelengkan kepalaku dan membersihkan—er... maksudku mengusap
mataku! Aku nggak nangis, kok—aku memandang sekeliling. Siapa tahu, Mama pergi
tanpa ngomong dulu...
Di atas meja, ada kertas mengkilap.
Tadi kayaknya nggak ada! Mungkin Papa
yang meninggalkannya.
Mama dan Papa ada di taman hutan dekat
rumah.
Dedek kesana, ya!
Nanti ketemuan Mama sama Papa, terus kita makan di luar.
Papa dan Mama menunggu.
Dedek kesana, ya!
Nanti ketemuan Mama sama Papa, terus kita makan di luar.
Papa dan Mama menunggu.
-Papa.
Di... taman hutan...!
“Tunggu, Mama, Papa!
Sebentar lagi aku sampai!”
Jalan ke taman hutan memang nggak jauh-jauh amat, kok. Tinggal dari rumah, terus ke
kanan... ke kiri, terus lewat pancuran air! Nanti lurus saja...—
“...Eh!?” Di seberang jalan, aku
melihat ada orang membuang sampah ke dalam pot bunga. J-jangan, dong! Berhenti... berhentilah! Pergi,
menjauh dari pot itu...!
“BERHENTI!!” Teriakku, namun semua
seperti tak mendengarnya. Bahkan orang itupun hanya berjalan melewati pot itu
seakan-akan hal yang dilakukannya barusan tidak terjadi.
Aku nyaris tak dapat menoleh.
Kenapa... kenapa Ia dapat melakukan hal seperti itu...? Aku harus kesana... dan
membersihkan pot bunga itu... kasihan bunga—
Papa dan Mama menunggu.
Surat itu terbayang di benakku. Aku nggak boleh lama-lama... nanti... Papa
dan Mama...
“...Maaf,
bunga! Aku harus cepat ke tempat Mama dan Papa..”
Rasanya kepalaku
sakit, dan mendadak, dadaku juga...
Lama-lama jalanku melambat juga.
Kepalaku sakiiit sekali, entah
mengapa. Dadaku terasa terbakar...
Aku memutuskan untuk berhenti
sebentar. Mama... Papa...
Agak jauh di sebelahku, aku melihat
pot besar. Isinya baru tunas kecil, berwarna hijau muda. Rasanya sejuk
memandangnya...
Tiba-tiba seorang tante lewat, tangan
kirinya berkutat dengan handphone-nya,
tangan kirinya membawa plastik makanan. Melewati pot tunas, tante itu langsung
membuang sampahnya dengan acuh tak acuh.
“Jangan!” Teriakku. Namun, seperti
tadi, tante itu seakan tak melihatku. Ia tetap memandang layar HP-nya, tanpa
bahkan memandangku sedikitpun.
“TANTE!!” Teriakku lagi, namun Ia
malah terlihat tambah tak peduli.
Ah... kepalaku sakit.
Setelah memandangi pot bunga itu, aku
melanjutkan perjalanan ke taman hutan.
Mama...
Papa...
Aku ingin bertemu...
Setelah perjalanan yang terasa sangaaat panjang, akhirnya aku sampai
juga ke Taman Hutan. Taman itu penuh
pohon-pohon besar, sehingga akhirnya dipanggil taman hutan. Mama seharusnya ada
disini, menungguku bersama Papa.
“Mama? Papa?”
Aku berjalan masuk ke dalam Taman
Hutan. Dan yang kulihat, bukannya Mama dan Papa, malah orang-orang yang
menebang pohon dengan kapak-kapak mereka yang bersinar mengkilat, dan
mesin-mesin besar yang dengan cepatnya menghancurkan taman hutan...
...hancur...
“HENTIKAN!!!”
Nafasku terasa tercekat.
Pandanganku makin lama makin kabur.
Kepalaku terasa sakit sekali.
Pusing.
Mama.
Papa.
“HENTIKAN!!!”
“...Ah!”
Mataku terbuka.
Pemandangan familier kamarku, yang dindingnya dan langit-langitnya dari kayu.
Udaranya terasa lembap. Ingin rasanya kugerakkan kakiku; tapi aku tak dapat
merasakan apapun. Dibawah selimut putih kusam ini, rasanya tak ada diriku. Aku
tak bisa merasakan apapun.
Angin bertiup. Gorden tipis jendela
terbuka melambai-lambai, seakan-akan tertawa.
Pemandangan luar gersang, tanpa ada
tanaman apapun. Tanah kering kusam, lantai berderit.
“HENTIKAN!!”
Segalanya...
Mengabur
menjadi hitam.
=====================================================
RINDU BUMI YANG HIJAU
Kesejukkan yang
menjelma di pagi hari
Melihat cerahnya senyum
mentari
Mengikuti haluan cerita
Diikuti warna hijau
daun
Indahnya permai hutanku
Kau adalah paru-paru dunia
Dalam rindangnya daun-daunmu
Membentang semua memori tentang dunia ini
Kini semua itu telah
tiada
Telah lenyap
Dan desiran rumput yang
sunyi pun hilang
Merintis kesepian tanpa
ada suara
Tanah subur menjadi gersang
Bumi semula hijau kini musnah sudah
Hutan hijau tampak hitam
Langit biru tampak gelap
Sampah-sampah plastik
yang tercemar
Yang menimbun
sungai-sungai
Mari kita bersihkan itu
Salah satunya dengan
daur ulang
Wahai kawan…
Perjalanan kita masih
panjang
Masa depan masih menghadang
Dunia masih terpampang
Mari kita galakkan
penghijaun
Dengan membudayakan
menanam pohon
Lingkungan alam hijau
akan kembali
Kehidupan manusia akan
kembali
Warnai dengan senyuman daun-daun
Ranting-ranting yang menari-nari
Hembusan angin yang segar
Menghiasi kehidupan dunia ini
Dan dengan Begini maka Berakhirlah Lomba Karya Tulis Memperingati HAri Jadi SMA N 1 Banguntapan ........ Dan bagi yang tidak menjadi Pemenang Jangan Putus asa
Sampai Jumpa di Event Selanjutnya
NB:
Karya yang dikirimkan setelah Pengumuman ini akan tetap dimuat di Blog Ini