Oleh : Listiani Dwi Lestari
Aca,
Eca, dan Ica bersahabat baik. Bahkan dapat dikatakan mirip lagu “Persahabatan
bagai kepompong”. Mereka mempunyai kesamaan, yaitu menyukai tanaman.
Sampai-sampai di rumah mereka ada taman kecil buatannya. Mereka menanam
berbagai jenis tanaman di taman. Paling banyak tanaman bunga. Mulai dari mawar,
melati, kamboja, dan masih banyak lagi. Dapat dikatakan mereka cinta tanaman.
Rumah
mereka berdekatan. Kalau ingin ketemu, mereka bisa janjian kapan saja. Di
belakang rumah mereka terdapat hutan yang luas. antara rumah dan hutan itu
dipisahkan oleh sebuah sungai yang cukup lebar. Sungai itu bening dan mengalir
pelan. Ada jembatan yang menghubungkan hutan dengan desa tempat mereka tinggal.
Suatu
hari, ketika Eca sedang menyiram tanaman, ia mendengar suara bising mesin dan
hantaman benda keras. Eca memasang telinga dengan tajam. Ia menyelidik sumber
suara. Eca mendekat ke tepi sungai. Ternyata sumber suara itu dari hutan
sebrang sungai. Eca segera menghubungi Aca dan Ica. Mereka memutuskan dan
memberanikan diri untuk ke hutan.
Ketika
di tengah perjalanan, langkah mereka terhenti. Ternyata mereka melihat seorang laki-laki
sedang menebang pohon di hutan. Pohon yang ditebang itu besar-besar. Penebangan
dilakukan dengan kapak dan gergaji mesin. Mereka tercengang melihat penebangan
itu. Setengah jam mereka mengamati lelaki penebang pohon itu. Bruuussss…. Suara
memecah di hutan. Sebuah pohon besar tumbang. Dengan muka puas sambil menyeka
keringat di dahi, lelaki itu telah menumbangkan pohon. Mereka masih mengamati
dengan penuh gelisah dari kejauhan. Tak berapa lama kemudian lelaki itu
mengemasi peralatannya. Setelah selesai mengemasi peralatan lelaki itu
mengayunkan kaki menjauhi tempat ia menebang pohon. Nampaknya ia pulang.
Melihat
kejadian itu, mereka langsung ke rumah Eca. Mereka begitu serius membicarakan
lelaki penebang pohon tadi. Tentu karena mereka adalah pecinta tanaman.
“Siapa
oran itu tadi?” tanya Aca memulai pembicaraan dengan wajah penuh tanya.
“Orang
itu akan membabat hutan terus-menerus. Kacau ini!” Sahut Eca.
“Mengapa
orang itu sendiri?” Selidik Ica ingin tahu.
“Kita
harus selidiki ini!” Eca mengusulkan.
“Setuju!”
Jawab Aca dan Ica serentak.
“Tapi
kapan?” sambung Aca.
Mereka
berunding dengan cepat. Rencana menyelidiki si lelaki penebang pohon itu akan
dilakukan besok sore. Itu atas usul Ica. Ica menyuruh Eca memberitahukan Ica
dan Aca apabila besok sore mendengar suara mesin dari hutan.
“Kalau
kamu mendengar suara bising dari hutan segera kabari aku dan Aca!” Ica
memerintahkan.
Eca
menyetujui itu. Walaupun mereka telah membubarkan diri, namun dalam benak
mereka masih tersimpan tanya. “Mengapa lelaki itu menebangi pohon di hutan?”
“Siapa pula lelaki itu?”
Pagi
hari mereka menjalankan aktivitas seperti biasa. Pergi ke sekolah dan belajar
dengan giat. Di sekolah mereka menanyakan pentingnya hutan bagi kehirupan.
Selain itu juga menanyakan sangsi yang akan diterima para penebang pohon tanpa
izin di hutan yang dilindungi.
“Penebangan
secara liar akan menyebabkan global warming. Mengganggu ekosistem di hutan yang
ditebangi itu. Juga menyebabkan erosi dan tanah longsor.” Jelas Bu Ismi, guru
IPA di sekolahnya.
Setelah
pulang sekolah. Eca tak lupa melihat tanaman kesayangannya. Hari belum begitu
sore. Eca mendengar suara bising itu lagi dari hutan. Tanpa basa-basi Eca
menghubungi Aca dan Ica. Sanyang, Aca gak di rumah. Kata kakanya, dia sedang ke
dokter melihat perkembangan amandelnya. Eca hanya berdua saja yaitu dengan Ica.
Walaupun berdua itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk mengetahui siapa
dan apa tujuan si lelaki itu menebang pohon.
Setelah
melewati jembatan yang menghubungkan desa dengan hutan mereka menyusuri jalan
menuju asal suara bising itu. Sekitar seratus meter mereka mengamati lelaki
penebang pohon itu. Eca dan Ica sedikit gemetar. Takut kalau lelaki itu
mengetahuinya. Bisa-bisa kepala mereka ikut di penggal seperti pohon-pohon di
hutan. Hi…ngeri! Perasaan mereka.
Mereka
tidak begitu jelas melihat lelaki itu. Walau merasa takut mereka mencoba
melawannya. Mereka ingin melihat lebih dekat lelaki itu. Mereka mengendap-endap
dari satu semak ke semak lain. Mereka sangat hati-hati. Satu kesalahan bisa
berakibat fatal. Mereka kadang-kadang bersembunyi di balik pohon besar yang
masih belum sempat ditebang lelaki itu. Sekarang jarak mereka tidak terlalu
jauh. Mereka bisa melihat si lelaki itu dengan jelas. Namun jika ketauan,
akibatnya juga lebih jelas. Dipenggal dengan kapak yang tajam.
“Hah….itu
Pak Bowo.”
“Ssttt!
Kamu mau bunuh diri? Teriak sekeras itu,” kata Eca sambil membungkam mulut Ica.
Sejenak
lelaki penebang pohon itu menghentikan mesinnya. Bisa jadi suara Ica didengarnya.
Sejenak hutan lenggang. Mata lelaki itu menyelidik ke sekitar penebangannya.
Wajahnya hitam, tatapannya menyeramkan. Kulitnya hitam legam, karena terbakar
sinar matahari setiap hari. Nampak badannya tinggi kekar. Pantas saja jika
mesin pemotong kayu itu mampu ia jinjing dengan satu tangan saja.
Eca
dan Ica gemetaran di balik pohon jati besar. Mereka membayangkan kalu ketauan
bakalan dipenggal leher mereka, bisa dengan kapak atau gergaji mesin itu. Huhh…ngeri banget! Eca dan Ica memandang satu
sama lain. Agak lama lelaki itu mematikan mesinnya. Eca memelototi jam
tangannya. Pukul 17.00. Sudah setengah jam mereka hanya saling pandang. Eca
memberanikan diri melihat ke arah lelaki itu tadi. Menyelidik dengan teliti.
Benar-benar ia menyisir tempat penebangan itu dan sekitarnya. Tak ada siapapun.
Peralatannya pun tak ada satupun. Eca segera mengulurkan tangannya kepada Ica.
“Aman.” Ica keluar. Mereka segera berlari tertatih-tatih menuju jembatan.
Seteah berhasil menyebrangi sungai mereka singgah di rumah Eca.
“Kamu
kenal lelaki itu?” Tanya Eca sambil mengatur nafasnya.
“Iya.
Lelaki itu Pak Bowo.”
“Dia
pernah ke rumahku. Ada urusan dengan bapakku. Setauku, mendengar pembicaraan
dengan bapakku, dia penebang kayu liar. Dia pernah ke rumah mau meminta
kerjasama dengan bapakku supaya diizinkan menebang pohon di hutan lindung dekat
desa kita. Sontak, waktu itu bapakku menolakknya.” Jelas Ica.
“Kita
laporkan aja sama bapakmu,” Desak Eca.
“Besok
kita ngomong ke bapakku, ya?”
Kebetulan
hari ini Minggu. Tentu mereka libur sekolah. Eca menelpon Ica. Mereka janjian
akan menjenguk Aca, sekalian mau ke rumah Ica untuk ngomong soal kemarin itu.
Ica sepakat. Pertama mereka ke rumah Aca. Ternyata Aca sudah sehat, amandelnya
sudah dinyatakan membaik oleh dokter. Setelah menjelaskan hasil penyelidikan ke
Aca, mereka memutuskan untuk ke rumah Ica.
Kedatangan
mereka di rumah Ica disambut hangat oleh bapak dan ibunya. Mereka dengan serius
–seperti orang dewasa- menjelaskan hasil penyelidikan mereka selama beberapa hari
kemarin. Bapaknya Ica kaget.
“Ini
sudah pelangaran hukum. Harus segera ditindak!”
Itu
jawaban bapaknya Ica menanggapi laporan tiga sekawan itu. Mereka juga
menjelaskan keadaan hutan yang sudah lima puluh persen ditebang.
Tiga
hari berlalu begitu cepat. Tiga sekawan itu lebih tenang. Mereka telah melaporkan
kejadian itu pada bapaknya Ica. Mereka mengira pasti lelaki itu –Pak bowo-
dilaporkan polisi. Seperti bisasa Eca menyirami tanaman setelah pulang sekolah.
Sudah dua hari ini ia tidak mendengar suara bising dari hutan. Eca menelpon
Ica. Eca sekarang tahu mengapa suara bising itu tidak terdengar lagi. Benar
dugaan mereka, Pak Bowo telah mendekam di penjara. Kata Ica, bapaknya langsung
melapor ke polisi setelah mendapat informasi dari tiga sekawan itu.
Eca,
Aca, dan Ica sore ini pergi ke hutan. Tumpukan kayu sudah tak ada. Hanya sampah
penebangan saja yang tersisa dan kesedihan hutan yang terenggut kebahagiaannya
oleh mesin dan kapak. Melihat keadaan tersebut, tiga sekawan itu duduk di
batang pohon bekas ditebang. Cukup besar.
“Kita
harus membuat hutan ini lebat kembali.” Ucap Eca seketika.
“Bagaimana
caranya Ca? luas sekali hutan yang rusak.” Keluh Ica.
“Gak
mungkin kan kita bertiga mau menanam pohon di lahan seluas ini. mau selesai
berapa tahun?” Aca agak putus asa.
“Bagaimana
kalian ini. Teman-teman TPA kita kan ada tu
sekitar seratus. Kita undang mereka
berwisata di hutan ini. Bawa alat untuk membersihkan sampah dan membawa satu
bibit pohon. Pohon apa saja boleh. Bagaimana?” Eca nampak bersinar-sinar
wajahnya.
“Nah..itu
baru ide jenius Ca.” Aca dan Ica serentak sambil tos.
“Kapan
kita mau ngundang mereka?” tanya Ica.
“Besok
sore kan kita TPA, kita undang mereka besok sore. Kita beritahuan bahwa Minggu
kita ajak mereka seperti rencanaku tadi.” Eca mengeluarkan lagi ide brilliant nya.
“Bagaimana
dengan konsumsinya nech?” tiba-tiba Eca bicara lagi.
“Beres.
Serahkan padaku kalau itu. Soal makanan, orangtuaku pasti setuju kalau mau
dipakai untuk kegiatan seperti ini.” Aca tiba-tiba bicara sambil tertawa riang
walaupun terhalang pipinya yang tembem.
Minggu
yang dinanti sudah tiba. Pukul 08.00 semua pasukan dari TPA di desa mereka tiba
di depan rumah Aca. Setelah mendapatkan pengarahan dari Eca mereka segera
mengambil bungkusan yang disediakan oleh orangtua Aca. Dari kejauhan tampak
sangat kompak sekali. Seperti petani kecil yang mau demo mengolah sawah. Sambil
bercanda mereka berjalan menuju hutan. Tentu dengan mengikuti Ica yang mendapat
tugas sebagai petunjuk jalan.
Setelah
tiba di hutan, tanpa diberi komando lagi mereka sibuk dengan bagian
masing-masing. Sebagian membersihkan sampah dan sebagian lagi menanam pohon.
Jam menunjukkan pukul 10.00. Mereka beristirahat sambil membuka bekal. Mereka
menikmati sekali bekal itu. Setelah sejenak, mereka melanjutkan lagi karena
tinggal sedikit pohon yang belum tertanam. Sejam kemudian semua sudah beres.
Mereka mengabadikan itu dengan berfoto-foto. Dengan senyum puas, tiga sekawan
itu membawa pasukan TPA pulang. Sempurna. Hutan sudah bersih dari sampah dan
kini harapan baru telah mereka tanam.
Satu
tahun kemudian. Hore…. Ye…. Yess….. tiga sekawan dan rombongan TPA berteriak di
hutan yang kini rimbun. Mereka memenuhi janji mereka untuk berkumpul kembali di
hutan pada tanggal yang sama dengan penanaman. Mereka berlari berhamburan
mencari pohon yang telah mereka tanam. “Kalau mau berusaha pasti bisa.” Suara
hati tiga sekawan itu.
“Hutan
ini menjadi simbol persaudaraan kita.” Teriak Eca.
“Kita
harus menjaga hutan ini seperti menjaga persaudaraan kita” teriak Ica. Eca
meneriaki teman-temannya untuk berkumpul sedangkan ia beridir di atas pangkal
pohon bekas penebangan tahun lalu.
“Sayangilah
bumi kita ini kawan!” Teriak Ica.