Karya:
Nayla Afifah / X7
Sekolah adiwiyata.
Sekolah yang peduli pada lingkungan yang bersih, sehat, dan indah. Sekolah
Tania sekarang, berwawasan adiwiyata. Tapi.. Jika kalian memasuki sekolah Tania
pastilah tak akan percaya bahwa sekolah itu berwawasan adiwiyata.
Ha? Kok bisa?.
Lihat saja! Murid-muridnya bahkan tidak pernah peduli lingkungan sekitar. Mau
lingkungannya bersih kek, sehat kek, indah kek mereka sama sekali tak acuh dengan
lingkungan sekitar. Sepertinya hanya Tania saja yang terlalu peduli dengan
lingkungan sekitar. Guru-guru juga sudah menasehati murid-muridnya dan mengajak
mereka untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Tapi perkataan para guru
hanya masuk ke telinga kanan dan keluar di telinga kiri.
Walaupun
teman-teman Tania juga tak peduli dengan lingkungan, namun semangat Tania untuk
membuat sekolahnya bersih, sehat, dan indah tak pernah lenyap. Ia sudah
bertekad untuk menyadarkan perbuatan teman-temannya dan membuat teman-temannya
sadar akan pentingnya lingkungan yang bersih, sehat, dan indah. Tekad apinya
tidak akan pernah padam walaupun perbuatannya sering ditertawakan oleh teman-temannya.
“Ngapain kamu
peduli dengan lingkungan. Toh.. lingkungan juga gak bakal peduli pada kita..”
tanya seorang teman sekelas Tania
“Kalau kamu tidak
peduli dengan lingkungan sekitar, kamu yang akan merasakan akibatnya dikemudian
hari..” balas Tania, tegas.
Pada suatu pagi
yang cerah. Tania sengaja datang lebih awal ke sekolah karena hari ini adalah
jadwalnya untuk piket. Sesampainya di kelas, Tania segera meletakkan tasnya dan
menyambar sapu yang ada di kelasnya. Sambil bersenandung, Ia mulai menyapu
lantai kelasnya yang sangat kotor.
Beberapa saat
kemudian, tampaklah kelas Tania yang sudah bersih dan rapi. Tania tersenyum
sendiri melihat hasil kerjanya yang tak sia-sia. Namun selang beberapa detik,
Andi salah satu teman sekelas Tania yang dikenal sangat bandel dengan santainya
melangkah dan meninggalkan jejak sepatunya yang ternyata sudah terkena tanah.
“Andi!!! Kalau mau
masuk kelas bersihkan dulu sepatumu. Aku sudah membersihkan kelas kenapa kau
mengotorinya lagi??” Tania menegur teman sekelasnya itu.
“Oh.. ada Tania
toh. Haha.. maaf aku gak tahu kamu ada disitu..” Andi hanya nyengir
memperlihatkan giginya yang putih bersih.
Tania mendengus
sebal. Huh.. udah salah gak sadar lagi!. Dasar gak peka!.
“Bersihkan sepatumu
dulu gih! Aku udah capek-capek nyapu!” Tania meninggikan suaranya.
“Males ah.. Ntar
aja..” dengan wajah tak berdosa, Andi mengambil sebuah permen dari sakunya. Ia
membuka bungkus permen itu dan membuangnya begitu saja ke lantai.
Jika ini di dalam
komik, maka kita dapat melihat simpang empat yang tercetak di dahi Tania dan
kepala Tania yang sudah berapi-api. Hampir saja urat-urat kemarahan Tania
putus. Sabar Tania.. sabar.. kamu gak boleh marah-marah.
Dengan langkah
gontai, Tania memungut bungkus permen yang dibuang sembarangan oleh Andi.
Setelah membuang bungkus permen laknat itu ke tempat sampah. Tania mengambil
pel dan kembali membersihkan lantai yang telah dikotori Andi. Sambil mengepel,
Tania mulai bergelayut dengan pikirannya.
‘Bagaimana caranya aku menyadarkan
teman-teman kepada lingkungan ya? Ucapan guru-guru saja gak didengar. Apalagi
ucapanku, pasti tambah gak didengar!’ pikir Tania, ‘Tapi dimana ada masalah pasti ada jalan keluarnya. Aku yakin! Suatu
saat nanti mereka akan sadar pentingnya lingkungan bersih, sehat, dan indah! Aku
yakin! Sangat yakin!’
Apakah keyakinan
Tania akan terkabul?. Entahlah.. tapi yang jelas semangat Tania tidak akan
pernah goyah untuk menyadarkan teman-temannya.
Besok adalah hari
ulang tahun sekolah Tania tercinta. Sekolahnya sendiri akan mengadakan acara
menanam pohon dan pentas seni. Setiap siswa diperbolehkan membawa bibit pohon
dan menanamnya di halaman sekolah. Namun bagi yang tak membawa, sekolah juga
menyediakan bibit-bibit yang akan ditanam. Mendengar tentang menanam pohon,
semangat Tania membara. Ia tak sabar menanam bibit pohon mangga yang barusan
dibelinya. Ia dapat membayangkan ketika bibit pohon mangga ini sudah tumbuh
besar dan berbuah. Pastilah buahnya dapat dinikmati bersama. Ah.. mangga! Buah
kesukaan Tania.
Mentari tersenyum
hangat kala hari yang sangat dinantikan Tania tiba. Hari ulang tahun
sekolahnya, hari menanam bibit pohon mangganya. Entah mendapat tenaga dari mana
sehingga Tania sanggup membawa lima buah bibit pohon mangga sekaligus. Mungkin
karena suasana hatinya yang sedang cerah secerah mentari hari itu. Yah..
mungkin.
Ia melangkahkan
kakinya cepat menuju kelasnya. Dan betapa terkejutnya Ia ketika mendapati semua
teman sekelasnya tidak membawa bibit pohon. Satupun tak ada! Di kelas tersebut
hanya dirinya seoranglah yang membawa bibit pohon.
“Kok.. pada gak
bawa bibit sih?” tanya Tania.
“Kemarin aku sibuk,
makanya gak sempat membeli bibit pohon..” jawab Andi.
Tania tak yakin
yang dikatakan Andi benar. Ia dapat melihat mata Andi yang menyiratkan
kebohongan.
“Lagi pula sekolah
juga sudah menyediakan bibitkan? Kenapa harus repot-repot membeli bibit jika
sekolah sudah menyiapkannya..” jawab Andi lagi.
Tapi ternyata
perkataan Andi salah besar!. Sekolah memang sudah menyediakan bibit pohon, tapi
ternyata jumlahnya tak seberapa. Dan yang paling mengagetkannya lagi, dari
ratusan murid di sekolahnya hanya dirinyalah yang membawa bibit. Catat itu!
HANYA TANIA!. Tentu saja bibit pohon yang disediakan sekolah tak sebanding
dengan jumlah murid yang tidak membawa bibit pohon. Haduh.. haduh.. tingkah
murid-murid di sekolahnya memang benar-benar ‘menabjubkan’. Menabjubkan dengan
tanda kutip tentunya.
Dan yang
benar-benar ‘menabjubkannya’ lagi, kegiatan menanam pohon itu tidah dilakukan
dengan serius. Banyak murid yang membiarkan bibitnya begitu saja, menyentuhnya
saja tidak!. Termasuk Andi, teman sekelas Tania.
“Andi... cepat
tanam bibit pohonmu itu!” tegur Tania.
“Bentar Tan, ada
SMS dari teman jauhku. Sayang kalau gak dibalas.. maklum namanya juga teman
jauh..”
Tania menghela nafas
melihat kelakuan Andi. Tidak ada bedanya kelakuan Andi dengan murid-murid yang
‘menabjubkan’ lainnya.
Setelah acara
menanam pohon yang ‘menabjubkan’ itu selesai. Tibalah saatnya untuk pentas
seni. Berbeda dengan kegiatan menanam pohon tadi, kini terlihat para murid yang
sangat sangat sangat antusias terhadap acara itu. Pentas seni berbanding
terbalik dengan kegiatan mananam pohon. Saking antusiasnya, teriakan ratusan
murid sampai terdengar ke luar sekolah.
Tania yang memang
tidak suka dengan keramaian, akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia
masih memikirkan kegiatan menanam pohon tadi.
‘Ah.. sudahlah tidak usah memikirkan hal itu
lagi. Mungkin saja para murid kurang antusias terhadapa kegiatan menanam pohon
karena bibit pohon yang kurang banyak..’ pikir Tania sebelum menuju ke alam
mimpinya.
Pikiran yang sangat
konyol memang. Tapi pikiran tersebut justru membuat Tania lebih tenang dan
tidak terbayang-bayang kembali kegiatan menanam pohon tadi. Setelah berpikiran
seperti itu, Tania merebahkan dirinya di kasur dan memejamkan matanya perlahan
untuk berkunjung ke dunia mimpi.
Keesokan harinya,
Tania cengo menatap sekolahnya. Oh.. astaga! Apa yang dilakukan murid-murid di
sekolahnya sehingga seluruh halaman sekolahnya menjadi super berantakan dan
dipenuhi sampah. Bukan sampah-sampah dengan jumlah sedikit, melainkan sampah-sampah
dengan jumlah super banyak yang dapat membuatmu menganga lebar sambil berkata ‘WOW’. Bahkan Tania dapat melihat
beberapa bibit pohon yang tergeletak begitu saja dan sudah diinjak-injak. Tania
yakin bahkan guru-guru dan cleaning
service di sekolahnya tak akan sanggup membersihkan sampah-sampah tersebut.
“Oh.. Ya Tuhan. Sebenarnya semenabjubkan apa
mereka sehingga membuat lingkungan sekolahku menjadi seperti ini?!!
Arrrrghhhh!!!” Tania frustasi sambil mengacaj-acak rambutnya.
Lihatlah semua
sampah ini!. Apakah kau akan berfikir untuk membersihkan sampah sebanyak ini?
Kurasa jawabanmu adalah tidak. Karena sampah disini terlalu banyak. Terlalu,
terlalu, terlalu banyak.
Tapi bukan Tania
namanya kalau tak peduli terhadap lingkungan sekitar. Ia berjalan dan memunguti
semua sampah itu. Walaupun Ia tahu bahwa dirinya tidak dapat membersihkan semua
sampah ini. Satu per satu sampah itu diambilnya kemudian di masukkan ke dalam
tempat sampah berdasarkan jenisnya. Kelihatannya sih.. sampah yang diambil
Tania sudah banyak, tapi ternyata Tania hanya memungut seperempat bagian dari
sampah-sampah tersebut.
Memungut
seperempatnya saja sudah membuat tangan Tania pegal-pegal dan ngos-ngosan.
Peluhnya sudah bercucuran karena kelelahan.
“Lebih baik
kulanjutkan nanti saja. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi..” Tania mengelap
peluhnya kemudian berjalan menuju kelasnya.
Siang itu, Tania
tak dapat melanjutkan kegiatannya untuk memungut-mungut sampah yang tersisa.
Hujan deras mengguyur sekolahnya. Sudah dua jam yang lalu hujan itu terus
mengguyur tanpa henti. Sambaran kilat dan petir menyertai hujan yang amat deras
tersebut.
Tania sedikit
cemas. Dengan hujan deras seperti ini, dan sampah yang bertebaran pastinya akan
membuat banjir. Apalagi jumlah sampah yang tidak bisa dikatakan sedikit itu
masih tersisa di lingkungan sekolahnya.
Dan apa yang Tania
cemaskan benar-benar terjadi!. Sekolahnya kebanjiran!. Bukan banjir yang besar
memang, namun semua kelas sudah tergenang oleh air. Airnya hanya setinggi mata kaki, namun yang
namanya banjir tetap saja banjir. Semua murid panik. Bahkan ada beberapa yang
komat-kamit mengucapkan doa agar air yang menggenang tidak bertambah tinggi.
“Kenapa bisa banjir
sih? Perasaan tadi baik-baik saja..” tanya Andi.
“Karena sampah..”
jawab Tania.
“Sampah?”
“Ya.. Karena
sampah. Sampah yang kalian buang begitu saja membuat sekolah kita kebanjiran.
Apalagi sampah-sampah itu sangat-sangat banyak!. Kalian sih.. disuruh
memperhatikan lingkungan sekitar malah cuek bebek. Akukan sudah pernah bilang,
jika tidak peduli terhadap lingkungan maka kalian akan merasakan akibatnya
dikemudian hari!. Dan liat sekarang! Sekolah kita kebanjiran! Salah siapa?
Salah kita semua bukan? Karena tidak pernah peduli terhadap lingkungan!”
Suasana hening
seketika. Semua teman-teman Tania diam tak bergeming. Apa yang dikatakan Tania
memang benar. Mereka salah. Semuanya bersalah. Selama ini mereka tak pernah dan bahkan
tak ada niat sedikitpun untuk peduli terhadap lingkungan.
“Kami sadar. Bahwa
kami bersalah..” ucap Andi.
“Kalau kalian
benar-benar sadar, jangan hanya mengucapkannya di mulut. Tetapi juga dilakukan.
Bagaimana jika kalian membantuku membersihkan sampah-sampah di seluruh halaman
sekolah?” usul Tania.
“Dulu.. Kami akan
selalu menartawakan ajakanmu untuk peduli terhadap lingkungan. Namun sekarang,
kami akan selalu berkata ‘Ya’ jika kau mengajak kami untuk peduli terhadap
lingkungan..”
Tania tersenyum.
Semua teman-temannya juga ikut tersenyum.
“Baiklah.. Sekarang mari kita
membersihkan sekolah kita!”
“Ayo!”
Seperti kebanyakan
cerita yang selalu berakhir bahagia. Cerita inipun begitu. Semua murid di
sekolah Tania akhirnya menyadari pentingnya memperhatikan lingkungan yang
bersih, sehat, dan indah.
Setelah sekian
lama, sekolah Tania benar-benar menjadi sekolah yang layak mendapatkan sebutan
adiwiyata. Atas usaha semua murid, sekolah mereka kini menjadi lebih bersih,
asri, dan tampak indah untuk dilihat. Usaha Tania untuk menyadarkan teman-temannya sukses sudah!. Tapi…
kenapa harus ada banjir dulu baru teman-temannya sadar?. Jika Tania tahu bahwa
dengan bencana banjir di sekolahnya dapat menyadarkan teman-temannya,
seharusnya sudah dari dulu dirinya membuat sekolah itu banjir. Konyol? Haha
tentu saja! Tania mana mungkin bisa membuat banjir!. Ya.. sudahlah tak perlu
dibahas lagi. Yang lalu biarlah berlalu, toh.. Tania juga sudah berhasil
menyadarkan teman-temannya untuk peduli terhadap lingkungan.
Kau bisa mengambil makna
dari cerita ini bukan?. Merawat lingkungan sejak sekarang, akan merasakan nikmatnya
suatu saat nanti. Begitu pula sebaliknya, jika kau sama sekali tak acuh
terhadap lingkungan maka kau akan merasakan akibatnya dikemudian hari.
TAMAT